Monday, May 18, 2009

Ekonomi Kerakyatan Cuma Retorika?
TANGGAL 27 Agustus 2001 Pemerintah Indonesia dan Dana Moneter Internasional (IMF) sepakat memperbarui paket program kebijakan ekonomi dan keuangan. Akan tetapi, tak satu pun butir kesepakatan itu yang menyebutkan keinginan untuk memperkuat dasar ekonomi rakyat. Bahkan, dalam Pidato Pengantar RAPBN 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri tak menyinggung strategi dasar dalam pengembangan ekonomi rakyat dimaksud. Realitasnya, ekonomi Indonesia selama ini disangga secara gotong-royong oleh pelaku usaha rakyat yang jumlahnya sangat banyak. Data BPS tahun 2000 menunjukkan, terdapat 39,04 juta unit atau 99,6 persen dari total unit usaha dengan penyerapan tenaga kerja 74,4 juta orang. Jumlah ini merupakan 99,6 persen dari total angkatan kerja yang bekerja. Dari jumlah 30,04 juta di atas, komposisi sektoral adalah pertanian (62,7 persen), dan jasa (3,9 persen).
Dari komposisi volume usaha, sejumlah 99,85 persen volume usahanya di bawah Rp 1 milyar, 0,14 persen di antara Rp 1 milyar sampai Rp 50 milyar, dan 0,01 persen yang di atas Rp 50 milyar. Dari komposisi penyerapan tenaga kerja, kelompok pertama tersebut menyerap 88,66 persen, kelompok kedua menyerap 10,78 persen, dan yang ketiga menyerap 0,56 persen. "Bukankah aneh kalau kebijakan tidak menempatkan mayoritas pelaku usaha (ekonomi rakyat) di Indonesia dalam prioritas utama," kata Adi Sasono, Ketua Umum Perhimpunan Indonesia Bangkit.
Namun, dapat dimaklumi jika pada 16 Agustus lalu Presiden Megawati menyatakan bahwa wacana tentang pengertian, lingkup, dan isi konsep ekonomi kerakyatan atau ekonomi rakyat belum jelas benar. Lebih jauh Presiden mengajak untuk memantapkan terlebih dahulu pemahaman ekonomi rakyat terhadap hal-hal yang bersifat mendasar, sebelum menyosialisasikan konsep tersebut.
Jadi, tampak bahwa "kebingungan" tentang pengertian ekonomi rakyat atau ekonomi kerakyatan tidak saja menghinggapi masyarakat dan para pelaku ekonomi, tetapi juga para penentu kebijakan hingga Presiden Megawati.
Dari situ muncul pertanyaan, apakah di tengah "kebingungan" tentang belum jelasnya pengertian ekonomi rakyat atau ekonomi kerakyatan, lantas kita tidak membuat kebijakan-kebijakan yang memperhatikan ekonomi rakyat? Rasanya, hal itu absurd. Soalnya, ada tidaknya pengertian dan definisi baku tentang ekonomi rakyat, ia tetap bergerak dan bertahan menggerakkan roda perekonomian, meski berskala kecil.
Apakah di tengah "kebingungan" kita semua, lantas kita menyerahkan sepenuhnya kebijakan-kebijakan ekonomi sesuai dengan kehendak pasar global yang liberal? Padahal, kita pahami bahwa dalam pasar global, para pemilik modal besar telah banyak melakukan kegiatan spekulasi.
Data menunjukkan bahwa realitas perdagangan uang dunia telah berlipat sekitar 80 kali dibandingkan dengan sektor riil. Ini fenomena "keterkaitan" antara sebagian besar perputaran uang dengan arus barang dan jasa. Itu berarti telah terjadi secara global apa yang disebut bubble economy, di mana kegiatan ekonomi dunia didominasi oleh kegiatan spekulasi.
Perhimpunan Indonesia Bangkit mencatat, dalam satu hari sekitar 1-2 trilyun dollar AS dana spekulasi tersebut gentayangan mencari tempat yang paling menguntungkan di dunia. Dalam hitungan setahun arus uang berjumlah sekitar 250 trilyun dollar AS. Hanya sekitar lima trilyun arus barang dan jasa yang diperdagangkan. "Dengan desakan liberalisasi yang kita terima secara taken for granted maka pemanfaatan dana-dana spekulasi dalam kegiatan pasar modal dan uang semakin intensif," kata Adi Sasono yang mantan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.
Dengan begitu, pada negara-negara yang sektor moneternya (pasar uang dan modal) semakin terbuka, semakin berisikolah perekonomiannya terhadap segala gejolak ekonomi eksternal. Inilah yang terjadi di Indonesia.
Lebih sadis lagi, dampak yang tidak menguntungkan dari kondisi tadi adalah adanya ketergantungan ekonomi bangsa terhadap permainan pihak asing. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan WTO-sebagai instrumen liberalisasi-telah menjerumuskan negara-negara berkembang yang lemah ke dalam situasi ketergantungan yang lebih intensif kepada kekuatan ekonomi pihak asing.
Ketergantungan ini dimanifestasikan dalam bidang keuangan, perdagangan, dan teknologi. Khusus tentang Indonesia, ketergantungan yang diantisipasikan oleh Dos Santos (1970) akan langsung diderita rakyatnya. Pihak asing akan menentukan formulasi kebijakan ekonomi dan sosial Indonesia, termasuk struktur kekuasaannya. Kedua, penguasaan devisa akan kembali berada di tangan pihak asing dengan intensitas yang lebih tinggi. Ketiga, penguasaan unit-unit ekonomi dan aset di Indonesia oleh pihak asing akan bertambah intensif.
Yang dikhawatirkan Dos Santos telah terbukti. Gara-gara kita "kebingungan", perekonomian nasional diserahkan ke pasar yang liberal dan rakus: melalui IMF, lembaga-lembaga keuangan internasional, hingga bangsa-bangsa asing yang ingin mengisap kesuburan komparatif bangsa kita?
DALAM perkembangan belakangan ini-akibat liberalisasi ekonomi yang begitu dahsyat- ekonomi kerakyatan telah dituduh secara keliru sebagai buah pikiran yang tidak jelas dasar teorinya. Selain itu, ekonomi kerakyatan dianggap sebagai beban dan biang distorsi bagi kebijakan perekonomian nasional. Dalam konteks ini, catatan ini ingin mengemukakan tiga landasan teori ekonomi kerakyatan atau ekonomi rakyat yang didasarkan pada pengalaman empirik.
Pertama, validasi teori itu-kalau bersumber dari masyarakat yang berbeda-harus diuji terlebih dahulu, tidak bisa main paksa untuk diterapkan di suatu masyarakat yang berbeda konteksnya. Landasan teori ekonomi yang berkembang di fakultas-fakultas ekonomi saat ini merupakan mainstream economy yang didasarkan pada paradigma neo-klasik.
Teori itu lahir dan berkembang dengan latar Barat. Lebih tepat, semua teori harus bersumber dari realitas sejarah dan situasi kondisi suatu masyarakat atau suatu bangsa. "Sayangnya, yang berkembang selama ini di Indonesia adalah teori ekonomi aliran tertentu," kata Adi Sasono.
Selain banyak ketinggalan, kaku, dan ortodoks, aliran neo-klasik kelihatannya kurang memberikan ruang untuk perdebatan seru, atau tarik-menarik yang bisa melahirkan pemikiran alternatif baru yang cocok dengan konteks Indonesia.
Realitas empirik dari kekuatan ekonomi rakyat dapat dilihat dalam dinamika ekonomi riil masyarakat. Realitas menunjukkan bahwa ekonomi kerakyatan atau ekonomi rakyat merupakan kegiatan ekonomi yang menghidupi kita. Setiap hari yang kita hidangkan di meja makan adalah bahan-bahan hasil produksi rakyat. Beras sampai garam, sayur-mayur sampai bumbu, merupakan produksi perekonomian rakyat, bukan produksi ekonomi konglomerat.
Jadi, perekonomian rakyatlah yang menghidupi, dan menjadi pendukung kehidupan bangsa selama ini. Jika sekiranya perekonomian nasional terus-menerus menghadapi krisis, ekonomi rakyat atau ekonomi kerakyatan akan masih bisa hidup, betapa pun subsistemik. Malah, sejak zaman perjuangan fisik melawan kolonial, ekonomi rakyat yang memberi makan pejuang kita.
Ekonomi rakyat pula yang membuat bangsa Indonesia mampu survive sampai memperoleh pengakuan kedaulatan. Dalam masa krisis sekarang, tatkala buruh-buruh sektor besar dan modern terkena PHK, mereka sebagian besar "diterima" dan "dihidupi" oleh ekonomi rakyat. Ekonomi rakyat telah menjadi "penjaga gawang" dalam perekonomian nasional. Ekonomi rakyat telah menampung kesusahan-kesusahan dan beban ekonomi modern yang diwakili para konglomerat.
Landasan empirik lain dari wujud usaha ekonomi kerakyatan dapat dilihat dalam kegiatan usaha kecil dan koperasi. Usaha kecil dan koperasi sangat besar kontribusinya dalam perekonomian Indonesia, terutama jika dilihat dari aspek-aspek, seperti, peningkatan kesempatan kerja, sumber pendapatan, pembangunan ekonomi perdesaan, dan peningkatan ekspor nonmigas. Jumlah usaha kecil dan koperasi di Indonesia cukup besar dan bergerak di berbagai sektor ekonomi, serta tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam konteks ini perlu pula dibedakan apa itu ekonomi kerakyatan, perekonomian rakyat, dan pemberdayaan rakyat. Sebenarnya ekonomi kerakyatan adalah istilah yang relatif baru untuk menggantikan istilah ekonomi rakyat yang distigmakan negatif dan didiskriminasikan.
Stigma muncul karena ekonomi rakyat didikotomikan dengan ekonomi konglomerat, dan diskriminatif karena "dirancang" untuk terang-terangan memihak pada salah satu sektor tertentu: ekonomi rakyat yang lemah dan terpinggirkan. Jadi, yang banyak dipakai adalah ekonomi kerakyatan.
Terlepas dari pemakaian istilah ekonomi rakyat atau ekonomi kerakyatan yang digunakan dalam wacana, yang jelas, ekonomi kerakyatan dapat didefinisikan sebagai sektor ekonomi yang berisi kegiatan-kegiatan ekonomi rakyat. Sementara itu, perekonomian rakyat adalah sistem ekonomi di mana rakyat dan usaha-usaha ekonomi kerakyatan berperan integral dalam perekonomian nasional: produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah kepemimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat, berdasarkan aturan bahwa Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung dalam Bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat.
Pemberdayaan rakyat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat, yang dalam kondisi sekarang, tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain, pemberdayaan adalah upaya memampukan, memartabatkan, dan memandirikan rakyat.
Pelaku ekonomi kerakyatan ini pada umumnya tertinggal di dalam proses pencapaian keadaan yang sejahtera, adil, dan makmur. Pelaku ekonomi kerakyatan ini ada yang formal, ada yang informal. Yang formal dapat dilihat dari sisi legalitasnya, seperti, koperasi, usaha kecil, dan menengah yang memiliki surat izin atau semacamnya. Yang informal dapat dilihat dari sisi: tidak memiliki legalitas, misalnya para pedagang kaki lima dan pedagang informal. Mereka belum bebas dari kemiskinan, sementara arus revolusi teknologi informasi modern telah mendera mereka.

No comments: